Gerbangsulsel.com– Isu kotak kosong dalam Pilkada Serentak 2024 memunculkan perdebatan sengit antara Komisi II DPR RI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Rapat konsultasi yang akan digelar pada Selasa (10/9/2024) membahas fenomena calon tunggal yang berpotensi melawan kotak kosong di 41 daerah.
Komisi II DPR RI menawarkan tiga opsi untuk mengatasi daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon. Namun, KPU memiliki pandangan berbeda dalam menyikapi fenomena tersebut.
Opsi dari DPR: Pilkada Ulang atau Percepatan?
Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, menjelaskan bahwa ada tiga opsi yang dipertimbangkan dalam rapat.
Opsi pertama adalah menggelar Pilkada ulang, dengan kotak kosong tetap menjadi lawan dari calon tunggal, seperti yang sudah diterapkan di beberapa daerah.
“Opsi kedua, mempercepat Pilkada hingga dua tahun ke depan, dan membuka pendaftaran calon baru. Selama itu, daerah akan dipimpin oleh Penjabat (Pj) Kepala Daerah,” ujar Mardani saat diwawancarai pada Minggu (8/9/2024).
Sementara itu, opsi ketiga yang dianggap paling kontroversial adalah membiarkan Penjabat Kepala Daerah memimpin selama lima tahun penuh, tanpa perlu mengadakan Pilkada baru.
“Semua opsi ini ada kelebihan dan kekurangannya, tapi kami harus memilih yang terbaik untuk memastikan pemerintahan di daerah tetap berjalan dengan baik,” tambahnya.
KPU: Pilkada Ulang, Tapi Jangan Tunda Terlalu Lama
Berbeda dengan Komisi II DPR, Ketua KPU, Mochammad Afifuddin, lebih condong pada opsi Pilkada ulang namun dengan penjadwalan yang lebih pasti.
Afifuddin mengusulkan Pilkada ulang dilakukan pada tahun 2025, jika di Pilkada 2024 nanti ada daerah yang dimenangkan kotak kosong.
Menurut Afifuddin, jika Pilkada ulang dijadwalkan pada periode lima tahun mendatang, hal ini dapat menyebabkan daerah dipimpin oleh Penjabat untuk waktu yang terlalu lama.
Kondisi ini, menurutnya, tidak ideal dan bisa menimbulkan masalah dalam stabilitas pemerintahan di tingkat daerah.
“Jika Penjabat memimpin selama lima tahun, maka akan terjadi pergantian terus-menerus, yang mana tidak baik untuk keberlangsungan pembangunan dan stabilitas di daerah,” jelas Afifuddin.
KPU juga mencatat, per Rabu (4/9/2024), ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon.
Terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota, daerah-daerah ini harus menghadapi risiko pemimpin yang terpilih melalui kotak kosong, yang berarti Penjabat Kepala Daerah bisa memimpin hingga periode Pilkada berikutnya.
Kontroversi dan Dampak Kotak Kosong
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada bukanlah hal baru, namun pada Pilkada Serentak 2024, jumlah daerah yang menghadapi situasi ini meningkat signifikan.
Di banyak wilayah, calon tunggal yang melawan kotak kosong dianggap mencerminkan minimnya pilihan bagi masyarakat.
Situasi ini menimbulkan kekhawatiran tentang bagaimana proses demokrasi bisa berjalan adil dan transparan.
Masyarakat di beberapa daerah menuntut adanya solusi yang jelas agar mereka tetap memiliki pemimpin yang sah, terpilih melalui proses Pilkada yang terbuka.
Rapat antara Komisi II DPR dan KPU yang akan digelar esok hari diperkirakan akan berlangsung panas, mengingat perbedaan pandangan yang signifikan di antara kedua institusi.
Apapun hasilnya, keputusan ini akan berdampak besar pada jalannya Pilkada 2024 dan nasib pemerintahan daerah di Indonesia.
Apakah opsi Pilkada ulang akan menjadi solusi terbaik, ataukah daerah harus puas dengan kepemimpinan Penjabat selama lima tahun? Semua akan terjawab dalam rapat penting besok.
Editor : Darwis
Follow Berita Gerbangsulsel.com di google news